pengertian sosiolinguistik



A.     Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi sendiri dapat diartikan sebagai kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
De Saussure (1961) pada awal abad ke-20 menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang sama dengan lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan dan sebagainya. Pada pertengahan abad ini para pakar di bidang bahasa merasa perlu adanya perhatian yang lebih terhadap dimensi kemasyarakatan bahasa, karena ternyata dimensi kemasyarakatan bukan hanya memberi “makna” kepada bahasa, tetapi juga  menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa yang tidak hanya menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam masyarakat tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, kaidah dan modus-modus penggunaan bahasa.
Berbeda dengan De Saussure, dalam bukunya Sign, Language and Behaviour, Charles Morris (1946) membicarakan bahasa sebagai sistem lambang, membedakan adanya tiga kajian bahasa berkenaan dengan fokus perhatian yang diberikan. Jika perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang dengan maknanya disebut semantik; jika fokus perhatian diarahkan pada hubungan lambang disebut sintaksis; dan kalau fokus perhatian diarahkan pada hubungan antara lambang dengan penuturnya disebut pragmatik yang tidak lain daripada sosiolinguistik.
Bahasa sebagai objek dalam sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia selalu berhubungan dengan bahasa. Oleh karena itu, bagaimana pun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan. Perhatikan beberapa rumusan mengenai sosiolinguistik dari beberapa pakar berikut:
§  Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan denan ciri funngsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana 1984:94)
§  Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan... disebut sosiolinguistik (Nababan 1984:2)
§   Sosiolinguistics is the study of the characteristics of language variaties, the characteristics of their function, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change and change one another within a speech community (sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur (J.A. Fishman 1972:4)
§  Sociolinguistyiek is de studie van taal en taalgebruik in de kontext van maatschapij en kultuur (sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan (Rene Apple, Gerad Hubert, Greus Meijer 1876:10)
§  Sociolinguistiek is subdisiplin van de taalkunde, die bestudert welke social factoren een rol spelen in het taalgebruik er welke taal spelt in het special vekeer (sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yabg mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial (G. E. Booij, J.G. Kersten, dan H.J. Verkuyl 1975: 139).
§  Sociolinguistics is the study of language in operation, it’s purpose is to investigate how the convention of the language use relate to other aspect of social behaviour (sosiolinguistik adalah kajian bahasa dalam penggunaannya, dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konvensi pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku sosial (C. Criper dan H.G. Widdowson dalam J.P.B. Allen dan S. Piet Corder (ed.) 1975: 156).
§  Sociolinguistics is a developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus, viewing variation of it social context. Sociolinguistics is concerned with the correlation between such social factors and linguistics variation (sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajianya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa (Nancy Parrot Hickerson 1980: 81).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.


Selain istilah sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Banyak orang menganggap kedua istilah itu sama: tetapi banyak pula yang menganggapnya berbeda. Ada yang mengatakan digunakannya istilah sosiolinguistik karena penelitiannya dimasukkan dari bidang linguistik; sedangkan istilah sosiologi bahasa digunakan kalau penelitiannya itu dimasuki dari bidang sosiologi (Nababan 1884: 3, juga Bright 1992: vol 4:9). J.A. Fishman, pakar sosiolinguik mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya kajian sosiolinguistik sendiri lebih bertumpu pada hubungan dengan perincian-perincian penggunaaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/dialek dalam budaya tertentu yang dilakukan penutur, topik dan latar pembicaraan. Sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang saling bertimbal balik dengan bahasa/dialek.

B.     Sosiolinguistik dan Disiplin Ilmu Lain
a.      Sosiologuistik dengan Linguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik.  Hal yang  dikaji dalam linguistik (ilmu yang mengkaji bahasa sebagai fenomena yang inedependen) dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Hal yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deepstructure dan surface structure-nya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang dilakukan tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri.
b.        Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai dasar kajian (lihat kembali hubungan antara sosiolinguistik dan linguistik) dan memandang struktur sosial sebagai faktor penentu variabel. Keduanya dipandang sebagai gegenseitige einbettung dan gegenseitige determination, dan hubungan antara keduanya ditentukan oleh persyaratan manusia, organisasi pikiran manusia (dalam bentuk argumen lahiriah), serta tuntutan intrinsik dari sebuah bidang yang sistematis, kuat,dan efektif (Hymes,1966). Apa yang terdapat dalam sosiologi, yang berupa fakta-fakta sosial ditransfer ke dalam sosiolinguistik, sehingga muncullah keyakinan bahwa bahasa berhubungan dengan strata sosial. Meskipun demikian, hubungan antara sosiolinguistik dan sosiologi sebenarnya bersifat timbal-balik (simbiosis mutualisme).
Hubungan sosiologi – sosiolinguistik:
(1) Kemajuan teori sosiologi seperti kelompok politik, mobilisasi massa, interferensi antarkelompok digunakan dalam sosiolinguistik
(2) Metodologi dalam sosiologi seperti angket, wawancara, pengamatan terlibat digunakan juga sebagai metode dalam sosiolinguistik;
(3) Istilah-istilah sosiologi seperti funktion, rolle, dan soziale dimension juga digunakan dalam sosiolinguistik;
(4) Fakta-fakta sosial dalam sosiologi ditransfer ke dalam sosiolinguistik yang meliputi transfer terhadap fungsi bahasa secara keseluruhan dan terhadap struktur bahasa itu sendiri.
Dengan memperhatikan fakta-fakta sosial ini, sosiolinguistik pun mempertimbangkan situasi berbahasa, siapa yang berbicara, di mana, dan sebagainya,, karena bagaimanapun sosiolinguistik muncul karena adanya bantuan sosiologi.
Hubungan sosiolinguistik – sosiologi
(1) Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi;
(2) Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat;
(3) Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan menegenai sosiologi.
Dengan kata lain, sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial, seperti yang ditunjukkan oleh Labov dalam penelitiannya mengenai tuturan dalam masyarakat Amerika dalam tingkat sosial yang berbeda.

c.         Hubungan Sosiolinguistik dengan Pragmatik
Pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tujuan dan dampak
berbahasa yang dikaitkan dengan konteks, atau penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan topik pembicaraan, tujuan, partisipan, tempat, dan sarana. Sebagaimana sosiolinguistik, pragmatik juga beranggapan bahwa bahasa (tuturan) tidaklah monostyle.
Pragmatik memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang keberadaannya (baik bentuk maupun maknanya) ditentukan oleh penutur dan ditentukan dan keberagamannya ditentukan oleh topik, tempat, sarana, dan waktu. Fakta-fakta ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik untuk menjelaskan variasi-variasi bahasa atau ragam bahasa. Pragmatik sangat menekankan aspek tujuan dalam berkomunikasi, seperti yang dikemukakan oleh Searle dalam tindak tuturnya. Bahasa akan berbeda karena adanya tujuan yang berbeda. Hal-hal ini pun dimanfaatkan oleh sosiolinguistik dengan menekankan variasi bahasa karena (berdasarkan) fungsi bahasa tersebut. Penggunaan bahasa dalam pragmatik juga sangat mempertimbangkan faktor interlokutor, yakni orang-orang yang terlibat dalam proses berkomunikasi dan berinteraksi. Karenanya, kode (meminjam istilah sosiolinguistik) yang digunakan pun berbeda. Dalam sosiolinguistik, aspek interlokutor ini dikembangkan lebih jauh dengan faktor sosial atau dialek sosial seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, hubungan sosial, dan sebagainya. Semisal tuturan “3 X 4 berapa?” akan memiliki makna dan jawaban yang berbeda. Pragmatik memandang, perbedaan itu disebabkan faktor tempat, tujuan, dan penutur. Sosiolinguistik memandangnya dari sudut register. Meskipun demikian, keduanya memerlukan “pengetahuan bersama” atau common ground untuk sampai kepada pemahaman yang sebenarnya.

d. Hubungan Sosiolinguistik dan Antropologi
Antropologi merupakan ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat-istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Antropologi memandang bahwa dalam budaya terkandung aspek bahasa. Dengan demikian apabila di daerah terdapat persamaan bahasa berarti mempunyai kekerabatan budaya yang dekat. Berarti pula, kesamaan bahasa menandai kesamaan budaya, dan bahasa dipakai dalam proses pembentukan budaya seperti mantra, pantun berbalas, debat, musyawarah, dan upacara-upacara adat. Antropologi membicarakan bahasa secara garis besar guna menjelaskan aspek budaya.
Sosiolinguistik berusaha untuk memanfaatkan penggolongan masyarakat
melalui budaya yang dilakukan antropologi serta memandangnya sebagai faktor pemengaruh bahasa. Sosiolinguistik berusaha menguji ulang data linguistik yang ditemukan antropologi itu. Pandangan hidup (yang tercermin dalam perilaku) dipakai sebagai faktor penyebab variasi bahasa terutama aspek kosakata dan struktur. Hal ini tampak antara lain dalam hipotesis Sapir-Whorf. Antropologi mendekati objek secara naturalistik.
Antropologi berusaha memasuki “setting” penelitian dengan rapport sebelum mengadakan observasi partisipatoris. Metode ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik guna menemukan data bahasa secara akurat sekaligus menemukan faktor pemengaruhnya secara terperinci. Di dalam Atropologi terdapat prinsip perkembangan dan perubahan. Prinsip ini ditransfer ke dalam sosiolinguistik sehingga muncullah istilah kronolek, tempolek, serta istilah-istilah tabu dalam sosiolinguistik. Antropologi juga memberikan konsep tentang struktur kebudayaan dan transformai kebudayaan kepada sosiolinguistik. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya istilah grandfather (karena adanya konsep dan penghargaan kepada kakek sebagai orang tua yang mempunyai sifat dan kedudukan yang agung), serta simbok (sebagai orang tua yang dapat melengkapi dan memberi kesempurnaan atau tombok).
Kebudayaan dalam antropologi disampaikan lewat bahasa, yang karenanya harus ada kemampuan komunikatif. Prinsip ini pun diambil oleh sosiolinguistik. Demikian pula, pengetahuan tentang budaya diperoleh bersamaan dengan pemerolehan bahasa, seperti sapaan, penggunaan bahasa sesuai konteks. Melalui ini pun dapat diketahui bagaimana budaya itu hidup dalam suatu masyarakat lengkap dengan nilai-nilai filosofi yang berkembang di dalamnya.
Bahasa dalam antropologi digunakan untuk pengungkap budaya. Dengan demikian, apa yang dipandang penting, pastilah akan ditonjolkan. Dalam suatu masyarakat ditemukan berbagai istilah, sesuai dengan tingkat budayanya. Di Mesir misalnya, terdapat 500 kosakata untuk singa, 200 kata untuk ular, 80 kata untuk madu, dan 4644 kata untuk unta. Demikian pula, dalam budaya Jawa yang menonjolkan rasa (hingga ada istilah rumangsa bisa lan bisa rumangsa) memiliki cukup banyak kosakata ajektiva afektif, seperti sedih, susah, ngenes, nelangsa, miris, wedi, gila.

e. Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi
Pada masa Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi dan dipandang sebagai ilmu yang tidak independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan (1974) bahwa linguistik bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Linguistik merupakan bagian dari psikologi dalam cara berpikir manusia. Chomsky melihat bahasa sebagai dua unsur yang bersatu, yakni competence dan performance. Competence merupakan unsur dalam bahasa (deep structure) dan menempatkan bahasa dari segi kejiwaan penutur, sedangkan competence merupakan unsur yang terlihat dari parole. Dengan demikian, Chomsky memandang bahwa bahasa bukanlah gejala tunggal. namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya.
Chomsky juga mulai merambah wilayah makna walaupun akhirnya mengakui bahwa wilayah makna merupakan wilayah yang paling sulit dalam kajian linguistik. Apa yang dikemukakan Chomsky tentang struktur dalam dan struktur luar digunakan oleh sosiolinguistik sebagai pedoman bahwa tuturan yang tampak sebenarnya hanyalah perwujudan dari segi kejiwaan penuturnya. Lebih lanjut sosiolinguistik membuka diri untuk menelaah perbedaan bentuk tuturan itu.
Kaitan antara competence dan performance terlihat dari penggunaan bahasa penutur. Orang dikatakan mempunyai kompetensi dan performansi yang baik apabila dapat menggunakan berbagai variasi bahasa sesuai dengan situasi. Orang yang berperformansi baik tentulah memiliki kompetensi yang baik, dan memungkinkan penggunaan kode luas (elaborated code). Sebaliknya, orang yang kompetensinya rendah, akan muncul kode terbatas (restricted code). Dalam psikologi perkembangan terdapat fase perkembangan yang dimulai menangis
(tangis bertujuan: lapar, dingin, takut), tengkurap, duduk, merangkak, dan berjalan. Kesemuanya diikuti atau sejalan dengan perkembangan kebahasaannya. Dalam sosiolinguistik, hal ini diadopsi sebagai variasi bahasa dilihat dari segi usia penutur,(orang mempelajari bahasa sesuai dengan tingkat perkembangannya). Karenanya dikenal juga variasi bahasa remaja dan manula.
Dari sudut psikologi, laki-laki memiliki kejiwaan yang secara umum berbeda dengan wanita. Karenanya, apa yang mereka tuturkan juga tidak sama. Sosiolinguistik mentransfer konsep ini, sehingga muncullah istilah variasi bahasa berdasarkan genus atau jenis kelamin.

3.      Kegunaan Sosiolinguistik
Setiap bidang ilmu tentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis. Begitu juga dengan sosiolinguistik. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu. Dalam penggunaannya sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu seperti dirumuskan Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah, “who speak what language, to whom, when, and to what end”. Dari rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat atau kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis.
Pertama-tama pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik akan mendapatkan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu. Jika kita adalah anak dalam suatu keluarga tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita seorang murid, tentu kita harus menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda pula terhadap guru, terhadap teman kelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya lebih tinggi. Sosiolinguistik juga akan menunjukkan bagaimana  kita harus berbicara bila kita berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan, di taman, di pasar, atau juga di lapangan sepak bola.
            Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peranan besar. Coba kita lihat. Kajian bahasa secara internal, seperti sudah dibicarakan diatas, akan menghasilkan perian-perian bahasa secara objektif deskriptif, dalam wujud berbentuk sebuah buka tata bahasa. Kalau kajian secara internal itu dilakukan secara deskriptif, dia akan menghasilkan sebuah buku tata bahasa deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara normatif, dia akan menghasilkan sebuah buku tata bahasa normatif. Kedua buku tata bahasa itu mempunyai hasil perian yang berbeda. Lalu, kalau digunakan dalam  penggunaan bahasa, juga akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan buku tata bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam bahasa yang harus diajarkan adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku tersebut terekam juga hasil perian ragam nonbaku. Sebagai contoh konkret, silahkan lihat buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia karya kridalaksana (1989). Tanpa bantuan atau penjelasan sosiolinguistik buku tersebut tidak dapat digunakan dalam pendidikan formal, sebab prefiks Nasal nge-, n-, m-, dan ny-, serta sufiks –in terekam juga sebagai khazanah afiks bahasa Indonesia. Sebaliknya, buku Ttata Bahasa Baru Bahasa Indonesia karya Sultan Takdir Alisjahbana (1981, cetakan ke-43) yang sangat bersifat normatif itu juga tidak dapat digunakandalam pendidikan formal tanpa bantuan sosiolinguistik, sebab norma-norma yang digunakan sudah “ketinggalan zaman” dari norma ragam bahasa Indonesia baku yang berlaku dewasa ini. Contoh, kata ekspres harus ditulis experes, kata struktur, harus ditulis seteruktur, dan kata ulang sebaik-baiknya harus ditulis sebaik2nya. Alasannya, karena menurut norma (lama) bahasa Indonesia tidak ada  pola suku kata KKVK dan KKKVK, sedangkan untuk pengulangan sudah lazim digunakan angka 2; yang lainnya, huruf  x lebih hemat dari pada gabungan huruf ks.
Buku-buku tata bahasa, sebagai hasil ujian internal terhadap bahasa, biasanya hanya menyajikan kaidah-kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-kaidah penggunaan bahasa.

4.      Masalah-Masalah Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penelitian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976:128).
            Identitas sosial dari penutur adalah, antara lain, dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengen lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
            Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Maka, identitas pendengar itupun dapat berupa anggota keluarga  (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
            Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluargadi dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah diruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.
            Analisis diakronik dan sinkronikdari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola dialek-dialek sosial itu, baik dari berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek sosial ini digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
            Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang tentunya sama, atau jadi berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.
            Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek, varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-masing.
            Dimensi terakhir, yakni penerapan paraktis dari penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat. Misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembukuan bahasa, penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik bahasa, dan sebagainya.




DAFTAR PUSTAKA

                  Anonim. 2011. Kaitan Sosiolinguistik dan Disiplin Ilmu Lain. http://staff.uny.ac.id.
Chaer, Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.



































MAKALAH
LINGUISTIK UMUM
( SOSIOLINGUISTIK )
 





Di susun oleh :
1.                  Moh. Said
2.                  Ayu istiani
3.                  Ismi fadhilah
4.                  Holifah
5.                  Homsah
6.                  Maimanah

   SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN   PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
BANGKALAN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macam - Macam Pukulan Dalam Pencak Silat Dan Cara Melakukannya

makalah sosiolinguistik kebijakan dan perencanaan bahasa

Macam macam Tendangan Dalam Pencak Silat