pengertian sosiolinguistik
A. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan
linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat.
Sosiologi sendiri dapat diartikan sebagai kajian yang objektif dan ilmiah
mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga dan proses
sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana
masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah
bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa
sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
De Saussure (1961) pada awal abad
ke-20 menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang
sama dengan lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perkawinan, pewarisan
harta peninggalan dan sebagainya. Pada pertengahan abad ini para pakar di
bidang bahasa merasa perlu adanya perhatian yang lebih terhadap dimensi
kemasyarakatan bahasa, karena ternyata dimensi kemasyarakatan bukan hanya
memberi “makna” kepada bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya
ragam-ragam bahasa yang tidak hanya menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam
masyarakat tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa serta
mencerminkan tujuan, topik, kaidah dan modus-modus penggunaan bahasa.
Berbeda dengan De Saussure, dalam
bukunya Sign, Language and Behaviour, Charles Morris (1946) membicarakan
bahasa sebagai sistem lambang, membedakan adanya tiga kajian bahasa berkenaan
dengan fokus perhatian yang diberikan. Jika perhatian difokuskan pada hubungan
antara lambang dengan maknanya disebut semantik; jika fokus perhatian
diarahkan pada hubungan lambang disebut sintaksis; dan kalau fokus
perhatian diarahkan pada hubungan antara lambang dengan penuturnya disebut pragmatik
yang tidak lain daripada sosiolinguistik.
Bahasa sebagai objek dalam
sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh
linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di
dalam masyarakat manusia. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia selalu
berhubungan dengan bahasa. Oleh karena itu, bagaimana pun rumusan mengenai
sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak akan terlepas dari persoalan
hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan.
Perhatikan beberapa rumusan mengenai sosiolinguistik dari beberapa pakar
berikut:
§ Sosiolinguistik
lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi
bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan denan ciri funngsi variasi
bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana 1984:94)
§ Pengkajian
bahasa dengan dimensi kemasyarakatan... disebut sosiolinguistik (Nababan
1984:2)
§ Sosiolinguistics
is the study of the characteristics of language variaties, the characteristics
of their function, and the characteristics of their speakers as these three
constantly interact, change and change one another within a speech community (sosiolinguistik
adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa,
dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah dan
saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur (J.A. Fishman
1972:4)
§ Sociolinguistyiek
is de studie van taal en taalgebruik in de kontext van maatschapij en kultuur (sosiolinguistik adalah kajian
mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan (Rene
Apple, Gerad Hubert, Greus Meijer 1876:10)
§ Sociolinguistiek
is subdisiplin van de taalkunde, die bestudert welke social factoren een rol
spelen in het taalgebruik er welke taal spelt in het special vekeer (sosiolinguistik adalah subdisiplin
ilmu bahasa yabg mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam
penggunaan bahasa dan pergaulan sosial (G. E. Booij, J.G. Kersten, dan H.J.
Verkuyl 1975: 139).
§ Sociolinguistics
is the study of language in operation, it’s purpose is to investigate how the
convention of the language use relate to other aspect of social behaviour (sosiolinguistik adalah kajian
bahasa dalam penggunaannya, dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konvensi
pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku sosial
(C. Criper dan H.G. Widdowson dalam J.P.B. Allen dan S. Piet Corder (ed.) 1975:
156).
§ Sociolinguistics
is a developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s
focus, viewing variation of it social context. Sociolinguistics is concerned
with the correlation between such social factors and linguistics variation (sosiolinguistik adalah pengembangan
subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta
mengkajianya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi
antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa (Nancy Parrot Hickerson
1980: 81).
Berdasarkan definisi-definisi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu
linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek
penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu
masyarakat tutur.
Selain istilah sosiolinguistik ada
juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Banyak orang menganggap kedua istilah
itu sama: tetapi banyak pula yang menganggapnya berbeda. Ada yang mengatakan
digunakannya istilah sosiolinguistik karena penelitiannya dimasukkan dari
bidang linguistik; sedangkan istilah sosiologi bahasa digunakan kalau
penelitiannya itu dimasuki dari bidang sosiologi (Nababan 1884: 3, juga Bright
1992: vol 4:9). J.A. Fishman, pakar sosiolinguik mengatakan kajian
sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa
bersifat kuantitatif. Artinya kajian sosiolinguistik sendiri lebih bertumpu
pada hubungan dengan perincian-perincian penggunaaan bahasa yang sebenarnya,
seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/dialek dalam budaya tertentu yang
dilakukan penutur, topik dan latar pembicaraan. Sedangkan sosiologi bahasa
lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang saling bertimbal balik
dengan bahasa/dialek.
B. Sosiolinguistik dan Disiplin Ilmu Lain
a. Sosiologuistik dengan Linguistik
Sosiolinguistik
merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor
sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan
linguistik. Hal yang dikaji dalam linguistik (ilmu yang mengkaji
bahasa sebagai fenomena yang inedependen) dijadikan dasar bagi sosiolinguistik
untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor
sosial. Hal yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De
Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum
Neo Bloomfieldien dengan deepstructure dan surface structure-nya,
dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan
dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan.
Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal
dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa
yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya.
Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa
dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji
wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa
(sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga ditentukan oleh faktor
di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna bahasa sangat diperlukan
pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang
dilakukan tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri.
b.
Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiolinguistik
memandang bahasa sebagai dasar kajian (lihat kembali hubungan antara
sosiolinguistik dan linguistik) dan memandang struktur sosial sebagai faktor
penentu variabel. Keduanya dipandang sebagai gegenseitige einbettung dan
gegenseitige determination, dan hubungan antara keduanya ditentukan oleh
persyaratan manusia, organisasi pikiran manusia (dalam bentuk argumen
lahiriah), serta tuntutan intrinsik dari sebuah bidang yang sistematis,
kuat,dan efektif (Hymes,1966). Apa yang terdapat dalam sosiologi, yang berupa
fakta-fakta sosial ditransfer ke dalam sosiolinguistik, sehingga muncullah
keyakinan bahwa bahasa berhubungan dengan strata sosial. Meskipun demikian,
hubungan antara sosiolinguistik dan sosiologi sebenarnya bersifat timbal-balik
(simbiosis mutualisme).
Hubungan sosiologi –
sosiolinguistik:
(1)
Kemajuan teori sosiologi seperti kelompok politik, mobilisasi massa,
interferensi antarkelompok digunakan dalam sosiolinguistik
(2)
Metodologi dalam sosiologi seperti angket, wawancara, pengamatan terlibat
digunakan juga sebagai metode dalam sosiolinguistik;
(3)
Istilah-istilah sosiologi seperti funktion, rolle, dan soziale dimension juga
digunakan dalam sosiolinguistik;
(4)
Fakta-fakta sosial dalam sosiologi ditransfer ke dalam sosiolinguistik yang
meliputi transfer terhadap fungsi bahasa secara keseluruhan dan terhadap
struktur bahasa itu sendiri.
Dengan
memperhatikan fakta-fakta sosial ini, sosiolinguistik pun mempertimbangkan
situasi berbahasa, siapa yang berbicara, di mana, dan sebagainya,, karena
bagaimanapun sosiolinguistik muncul karena adanya bantuan sosiologi.
Hubungan
sosiolinguistik – sosiologi
(1) Data
sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer
untuk sosiologi;
(2) Aspek
sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat;
(3) Bahasa
yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan
penegetahuan menegenai sosiologi.
Dengan
kata lain, sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata
sosial, seperti yang ditunjukkan oleh Labov dalam penelitiannya mengenai
tuturan dalam masyarakat Amerika dalam tingkat sosial yang berbeda.
c.
Hubungan Sosiolinguistik dengan
Pragmatik
Pragmatik
merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tujuan dan dampak
berbahasa yang dikaitkan dengan
konteks, atau penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan topik pembicaraan,
tujuan, partisipan, tempat, dan sarana. Sebagaimana sosiolinguistik, pragmatik
juga beranggapan bahwa bahasa (tuturan) tidaklah monostyle.
Pragmatik
memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang keberadaannya (baik bentuk maupun
maknanya) ditentukan oleh penutur dan ditentukan dan keberagamannya ditentukan
oleh topik, tempat, sarana, dan waktu. Fakta-fakta ini dimanfaatkan oleh
sosiolinguistik untuk menjelaskan variasi-variasi bahasa atau ragam bahasa.
Pragmatik sangat menekankan aspek tujuan dalam berkomunikasi, seperti yang
dikemukakan oleh Searle dalam tindak tuturnya. Bahasa akan berbeda karena
adanya tujuan yang berbeda. Hal-hal ini pun dimanfaatkan oleh sosiolinguistik
dengan menekankan variasi bahasa karena (berdasarkan) fungsi bahasa tersebut.
Penggunaan bahasa dalam pragmatik juga sangat mempertimbangkan faktor
interlokutor, yakni orang-orang yang terlibat dalam proses berkomunikasi dan
berinteraksi. Karenanya, kode (meminjam istilah sosiolinguistik) yang digunakan
pun berbeda. Dalam sosiolinguistik, aspek interlokutor ini dikembangkan lebih
jauh dengan faktor sosial atau dialek sosial seperti tingkat sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, hubungan sosial, dan sebagainya.
Semisal tuturan “3 X 4 berapa?” akan memiliki makna dan jawaban yang berbeda.
Pragmatik memandang, perbedaan itu disebabkan faktor tempat, tujuan, dan
penutur. Sosiolinguistik memandangnya dari sudut register. Meskipun demikian,
keduanya memerlukan “pengetahuan bersama” atau common ground untuk
sampai kepada pemahaman yang sebenarnya.
d. Hubungan
Sosiolinguistik dan Antropologi
Antropologi
merupakan ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk
fisik, adat-istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Antropologi memandang
bahwa dalam budaya terkandung aspek bahasa. Dengan demikian apabila di daerah
terdapat persamaan bahasa berarti mempunyai kekerabatan budaya yang dekat.
Berarti pula, kesamaan bahasa menandai kesamaan budaya, dan bahasa dipakai
dalam proses pembentukan budaya seperti mantra, pantun berbalas, debat,
musyawarah, dan upacara-upacara adat. Antropologi membicarakan bahasa secara
garis besar guna menjelaskan aspek budaya.
Sosiolinguistik
berusaha untuk memanfaatkan penggolongan masyarakat
melalui budaya yang dilakukan
antropologi serta memandangnya sebagai faktor pemengaruh bahasa.
Sosiolinguistik berusaha menguji ulang data linguistik yang ditemukan
antropologi itu. Pandangan hidup (yang tercermin dalam perilaku) dipakai
sebagai faktor penyebab variasi bahasa terutama aspek kosakata dan struktur.
Hal ini tampak antara lain dalam hipotesis Sapir-Whorf. Antropologi mendekati
objek secara naturalistik.
Antropologi
berusaha memasuki “setting” penelitian dengan rapport sebelum mengadakan
observasi partisipatoris. Metode ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik guna
menemukan data bahasa secara akurat sekaligus menemukan faktor pemengaruhnya
secara terperinci. Di dalam Atropologi terdapat prinsip perkembangan dan
perubahan. Prinsip ini ditransfer ke dalam sosiolinguistik sehingga muncullah
istilah kronolek, tempolek, serta istilah-istilah tabu dalam sosiolinguistik.
Antropologi juga memberikan konsep tentang struktur kebudayaan dan transformai
kebudayaan kepada sosiolinguistik. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya istilah
grandfather (karena adanya konsep dan penghargaan kepada kakek sebagai orang
tua yang mempunyai sifat dan kedudukan yang agung), serta simbok (sebagai orang
tua yang dapat melengkapi dan memberi kesempurnaan atau tombok).
Kebudayaan
dalam antropologi disampaikan lewat bahasa, yang karenanya harus ada kemampuan
komunikatif. Prinsip ini pun diambil oleh sosiolinguistik. Demikian pula,
pengetahuan tentang budaya diperoleh bersamaan dengan pemerolehan bahasa,
seperti sapaan, penggunaan bahasa sesuai konteks. Melalui ini pun dapat
diketahui bagaimana budaya itu hidup dalam suatu masyarakat lengkap dengan
nilai-nilai filosofi yang berkembang di dalamnya.
Bahasa
dalam antropologi digunakan untuk pengungkap budaya. Dengan demikian, apa yang
dipandang penting, pastilah akan ditonjolkan. Dalam suatu masyarakat ditemukan
berbagai istilah, sesuai dengan tingkat budayanya. Di Mesir misalnya, terdapat
500 kosakata untuk singa, 200 kata untuk ular, 80 kata untuk madu, dan 4644
kata untuk unta. Demikian pula, dalam budaya Jawa yang menonjolkan rasa (hingga
ada istilah rumangsa bisa lan bisa rumangsa) memiliki cukup banyak kosakata
ajektiva afektif, seperti sedih, susah, ngenes, nelangsa, miris, wedi, gila.
e.
Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi
Pada masa
Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi dan dipandang sebagai ilmu
yang tidak independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan (1974) bahwa linguistik
bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Linguistik merupakan bagian dari psikologi
dalam cara berpikir manusia. Chomsky melihat bahasa sebagai dua unsur yang
bersatu, yakni competence dan performance. Competence
merupakan unsur dalam bahasa (deep structure) dan menempatkan bahasa
dari segi kejiwaan penutur, sedangkan competence merupakan unsur yang
terlihat dari parole. Dengan demikian, Chomsky memandang bahwa bahasa bukanlah
gejala tunggal. namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya.
Chomsky
juga mulai merambah wilayah makna walaupun akhirnya mengakui bahwa wilayah
makna merupakan wilayah yang paling sulit dalam kajian linguistik. Apa yang
dikemukakan Chomsky tentang struktur dalam dan struktur luar digunakan oleh
sosiolinguistik sebagai pedoman bahwa tuturan yang tampak sebenarnya hanyalah
perwujudan dari segi kejiwaan penuturnya. Lebih lanjut sosiolinguistik membuka
diri untuk menelaah perbedaan bentuk tuturan itu.
Kaitan antara competence dan
performance terlihat dari penggunaan bahasa penutur. Orang dikatakan
mempunyai kompetensi dan performansi yang baik apabila dapat menggunakan
berbagai variasi bahasa sesuai dengan situasi. Orang yang berperformansi baik
tentulah memiliki kompetensi yang baik, dan memungkinkan penggunaan kode luas (elaborated
code). Sebaliknya, orang yang kompetensinya rendah, akan muncul kode
terbatas (restricted code). Dalam psikologi perkembangan terdapat fase
perkembangan yang dimulai menangis
(tangis bertujuan: lapar, dingin,
takut), tengkurap, duduk, merangkak, dan berjalan. Kesemuanya diikuti atau
sejalan dengan perkembangan kebahasaannya. Dalam sosiolinguistik, hal ini
diadopsi sebagai variasi bahasa dilihat dari segi usia penutur,(orang
mempelajari bahasa sesuai dengan tingkat perkembangannya). Karenanya dikenal
juga variasi bahasa remaja dan manula.
Dari sudut
psikologi, laki-laki memiliki kejiwaan yang secara umum berbeda dengan wanita.
Karenanya, apa yang mereka tuturkan juga tidak sama. Sosiolinguistik
mentransfer konsep ini, sehingga muncullah istilah variasi bahasa berdasarkan
genus atau jenis kelamin.
3.
Kegunaan
Sosiolinguistik
Setiap
bidang ilmu tentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis. Begitu juga
dengan sosiolinguistik. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat
banyak, sebab bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai
aturan-aturan tertentu. Dalam penggunaannya sosiolinguistik memberikan
pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Sosiolinguistik menjelaskan
bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu seperti
dirumuskan Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik
adalah, “who speak what language, to whom, when, and to what end”. Dari
rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat atau kegunaan sosiolinguistik
bagi kehidupan praktis.
Pertama-tama
pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau
berinteraksi. Sosiolinguistik akan mendapatkan pedoman kepada kita dalam
berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang
harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu. Jika kita adalah
anak dalam suatu keluarga tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang
berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita
seorang murid, tentu kita harus menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda
pula terhadap guru, terhadap teman kelas, atau terhadap sesama murid yang
kelasnya lebih tinggi. Sosiolinguistik juga akan menunjukkan bagaimana
kita harus berbicara bila kita berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan,
di taman, di pasar, atau juga di lapangan sepak bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peranan
besar. Coba kita lihat. Kajian bahasa secara internal, seperti sudah
dibicarakan diatas, akan menghasilkan perian-perian bahasa secara objektif
deskriptif, dalam wujud berbentuk sebuah buka tata bahasa. Kalau kajian secara
internal itu dilakukan secara deskriptif, dia akan menghasilkan sebuah buku
tata bahasa deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara normatif, dia akan
menghasilkan sebuah buku tata bahasa normatif. Kedua buku tata bahasa itu
mempunyai hasil perian yang berbeda. Lalu, kalau digunakan dalam
penggunaan bahasa, juga akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran
digunakan buku tata bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam
bahasa yang harus diajarkan adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku
tersebut terekam juga hasil perian ragam nonbaku. Sebagai contoh konkret,
silahkan lihat buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia karya
kridalaksana (1989). Tanpa bantuan atau penjelasan sosiolinguistik buku
tersebut tidak dapat digunakan dalam pendidikan formal, sebab prefiks Nasal nge-,
n-, m-, dan ny-, serta sufiks –in terekam juga sebagai
khazanah afiks bahasa Indonesia. Sebaliknya, buku Ttata Bahasa Baru Bahasa
Indonesia karya Sultan Takdir Alisjahbana (1981, cetakan ke-43) yang sangat
bersifat normatif itu juga tidak dapat digunakandalam pendidikan formal tanpa
bantuan sosiolinguistik, sebab norma-norma yang digunakan sudah “ketinggalan
zaman” dari norma ragam bahasa Indonesia baku yang berlaku dewasa ini. Contoh,
kata ekspres harus ditulis experes, kata struktur, harus
ditulis seteruktur, dan kata ulang sebaik-baiknya harus ditulis sebaik2nya.
Alasannya, karena menurut norma (lama) bahasa Indonesia tidak ada pola
suku kata KKVK dan KKKVK, sedangkan untuk pengulangan sudah lazim digunakan
angka 2; yang lainnya, huruf x lebih hemat dari pada gabungan huruf ks.
Buku-buku
tata bahasa, sebagai hasil ujian internal terhadap bahasa, biasanya hanya
menyajikan kaidah-kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-kaidah
penggunaan bahasa.
4.
Masalah-Masalah
Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di
University of California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya
tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan
masalah dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur, (2)
identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3)
lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan
diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penelitian sosial yang berbeda oleh
penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik,
dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar
1976:128).
Identitas sosial dari penutur adalah, antara lain, dapat diketahui dari
pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengen lawan
tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu,
kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau
bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan,
dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam
bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Maka,
identitas pendengar itupun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu,
kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau
bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan,
dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar juga akan mempengaruhi
pilihan kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluargadi
dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak bola, di ruang
kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi
dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di
ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras,
di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah diruang yang
bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab
kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.
Analisis diakronik dan sinkronikdari dialek-dialek sosial berupa deskripsi
pola-pola dialek-dialek sosial itu, baik dari berlaku pada masa tertentu atau
yang berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek sosial ini digunakan para
penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-kelas sosial
tertentu di dalam masyarakat.
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku
ujaran. Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di
dalam masyarakat. Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai
penilaian tersendiri, yang tentunya sama, atau jadi berbeda, tidak akan terlalu
jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang
berlangsung.
Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya, bahwa sehubungan dengan
heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan
politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi,
manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi,
entah namanya dialek, varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya
masing-masing.
Dimensi terakhir, yakni penerapan paraktis dari penelitian sosiolinguistik,
merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk
mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat. Misalnya, masalah
pengajaran bahasa, pembukuan bahasa, penerjemahan, mengatasi konflik sosial
akibat konflik bahasa, dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Agustina. 2010. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
MAKALAH
LINGUISTIK UMUM
( SOSIOLINGUISTIK )
Di susun oleh :
1.
Moh.
Said
2.
Ayu
istiani
3.
Ismi
fadhilah
4.
Holifah
5.
Homsah
6.
Maimanah
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
BANGKALAN
Komentar
Posting Komentar